Aberdeen dan Tidurnya Pusat Minyak Bumi di Eropa

Dari kota dengan jumlah upah, keterampilan dan inovasi kerja tergolong tinggi di Britania Raya, hingga menjadi kota yang ditinggalkan penduduk usia produktifnya pada tahun 2016. Aberdeen merupakan contoh kota yang mengajarkan dunia bahwa terlalu bergantung pada satu industri adalah kesalahan. Bagaimana cara yang tengah dilakukan untuk bangkit?

Bagi para pelaku industri migas, mungkin kota Aberdeen terdengar familiar. Kota yang dijuluki sebagai Pusat Minyak Bumi di Eropa ini memang dikenal semenjak adanya temuan minyak bumi di wilayah North Sea pada tahun 1975 dan mencapai puncaknya pada 1999, dengan lebih dari 40 triliun barel berhasil diekstraksi. Melihat melimpahnya produksi ini, tidak berlebihan bila potensi migas di North Sea kemudian diklaim sebagai salah satu yang paling produktif dalam lima dekade terakhir. Adanya temuan migas di North Sea ini kemudian dapat menciptakan lebih dari 100,000 lapangan pekerjaan di Aberdeen, dengan catatan upah yang cukup tinggi. Tercatat pada 2016, Aberdeen adalah salah satu kota yang paling sejahtera di Britania Raya setelah London, dengan pendapatan per tahun warganya mencapai £32,000 atau $49,000 per orang. Kini pertanyaannya, apakah kejayaan ini masih bertahan hingga sekarang?

Sayangnya, tidak.

Bermula dari merosotnya harga minyak bumi, dari $115 per barrel pada 2014 hingga ke $33 pada 2016 keadaan pun berbalik. Harga ini adalah harga terendah yang pernah ada selama sebelas tahun terakhir. Kondisi perekonomian semakin menurun dan tingkat pengangguran meningkat 25% sepanjang tahun 2016, hingga mencapai angka 5,4%. Mengutip laporan Cities Outlook 2018 yang dilansir oleh Centre for Cities, berbagai faktor memang menunjukkan bahwa Aberdeen tengah dalam kondisi perkonomian yang kurang stabil. Sekitar tahun 2015 dan 2016, Aberdeen menjadi satu-satunya kota di Skotlandia yang mengalami penurunan populasi hingga 0.3 persen. Hal ini menandakan kota ini tidak lagi dapat menyediakan pekerjaan dan kesempatan karir yang dapat menarik perhatian orang-orang. Tidak hanya itu, Aberdeen juga berada di peringkat kedua se-Britania Raya untuk kota dengan penurunan pertumbuhan usaha di sektor privat ter-drastis, yakni mencapai -4,9 persen.

Kondisi ini kemudian membuat beberapa ahli menganalisis apakah ada kesalahan dalam perencanaan kebijakan di Aberdeen beberapa tahun ke belakang. Banyak asumsi mencuat, bahwa hal ini terjadi karena Aberdeen terlalu bergantung pada satu industri sebagai tumpuan perekonomian, yakni industri migas. Meskipun banyak pro dan kontra terhadap pernyataan ini, tetapi hal ini diamini oleh beberapa ahli dari Skotlandia. Professor Jeremy Peat, dari University of Stratchclyde International Public Policy Institute, misalnya. Meskipun tidak secara khusus membicarakan Aberdeen, namun baginya Skotlandia memang terlalu bergantung pada industri migas, karena memang cadangannya sangat melimpah. Ketergantungan ini sebenarnya sangat berisiko dan memang banyak faktor yang dapat memperparah ketidakstabilan ini, seperti geopolitik maupun ekonomi. Melihat hal ini, bagaimana cara Pemerintah Aberdeen, atau Skotlandia pada umumnya, untuk mulai bangkit?

Pertengahan tahun 2017 lalu, University of Aberdeen, sebuah universitas yang terkenal dengan fokusnya di bidang energi, membuka sebuah program studi baru, yakni decommissioning. Sebuah program studi yang belum pernah ada di universitas manapun di dunia. Tentu dibukanya program ini bukan tanpa alasan. Dengan fokus studi di decommissioning untuk platform di laut lepas, program ini memang dibuka dengan melihat proyeksi bahwa dalam 25 tahun ke depan, penutupan fasilitas migas di North Sea dapat menelan biaya hingga triliunan poundsterling dan menjadi ladang pekerjaan baru. Pembukaan program ini bukan atas sikap pesimistik akan perkembangan industri migas. Namun, lebih ke arah membangun kesadaran bahwa fase menurunnya produksi minyak bumi ini sebenarnya dapat digunakan kembali untuk mengatasi menurunnya lapangan pekerjaan. Diprediksikan program studi ini nantinya akan menjadi salah satu program studi yang banyak diincar oleh berbagai praktisi.

Selain hal itu, mengganti haluan fokus ke pengembangan energi terbarukan juga menjadi pilihan. Untungnya, letak geografis Aberdeen yang strategis dengan hembusan angin yang kuat, membuatnya menjadi tempat yang cocok untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin, khususnya untuk di wilayah lepas pantai atau offshore wind energy. Saat ini, sebuah lapangan offshore wind energy terbesar di dunia tengah dibangun di Aberdeen. Dengan tinggi 191 meter dan panjang tiap tiap baling-balingnya mencapai delapan meter, pembangunan pembangkit ini terdiri atas dua pembangkit 8.8 MW dan sembilan pembangkit berkapasitas 8.4 MW. Selain untuk membuka lapangan pekerjaan baru dan bentuk diversifikasi usaha, pengembangan lapangan ini juga dipercaya dapat memenuhi 70% kebutuhan listrik domestik Aberdeen.

Lebih jauh, nampaknya komitmen Pemerintah Aberdeen untuk fokus mengembangkan energi terbarukan ini tidak main-main. Inovasi lain juga tengah dikembangkan untuk mengintegrasikan sisa kekuatan migas kota ini dengan pengembangan offshore wind energy tersebut. Salah satunya adalah ide untuk menggunakan fasilitas atau struktur yang awalnya digunakan untuk pengembangan industri migas menjadi turbin yang akan digunakan sebagai alat energi angin ini sendiri. Saat ini, inovasi ini tengah dikaji oleh European Offshore Wind Deployment Centre yang berlokasi di sekitar Aberdeen dan memproyeksikannya untuk mengelaborasikannya dalam mega proyek offshore wind energy tersebut.

Anjuran diversifikasi usaha dan penguatan ekonomi lokal memang tengah digaungkan untuk bangkit dari kelesuan ini. Namun, memang butuh usaha dan waktu yang tidak sebentar untuk memperbaikinya. Yang jelas, Pemerintah Aberdeen bukan beranjak dan meninggalkan industri migas yang pernah menjadi sumber kekuatan utama kota ini. Bahkan, awal tahun ini British Petroleum mengumumkan penemuan minyak lagi di North Sea dan berharap dapat menghasilkan 200,000 barrels pada 2020. Namun setidaknya, adanya kondisi penurunan ini dapat membuat Pemerintah Aberdeen, maupun Skotlandia pada umumnya, sadar bahwa menggantungkan perekonomian pada satu industri adalah bukan pilihan yang tepat dan patut untuk diperbaiki.

Ditulis oleh Grita Anindarini, LL.M. Candidate in Energy Law, University of Aberdeen, yang juga merupakan Sekretaris Jendral PPI Aberdeen.

*Artikel ini juga diulas di portal Jawa Pos 

© Photo by Abdi Surya, MSc Candidate in Oil and Gas Engineering, University of Aberdeen

One Comment Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s