Artikel ini penulis buat berdasarkan pengalaman penulis melakukan ibadah shaum dan safari Ramadan di beberapa kota di United Kingdom (UK)/Inggris Raya, yaitu di Aberdeen, Edinburgh, Glasgow, Manchester dan Leeds. Sangat dimengerti apabila yang penulis tulis ternyata tidak berlaku di kota lain di UK yang lebih besar komunitas muslimnya, seperti di London, misalnya.
Durasi shaum dan keadaan cuaca di UK
Yang pertama kali terlintas di benak orang Indonesia ketika mendengar puasa di benua Eropa adalah durasinya lamaaa dan berat. Hehehehehe, asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Durasi menahan lapar dan haus pada bulan Ramadan di negara subtropis tergantung pada musim apa jatuhnya bulan Ramadan tersebut—ada musim dingin, semi, gugur dan musim panas.
Sebagai contoh, di awal tahun 2000-an, Ramadan di UK jatuh pada musim dingin/winter. Saat itu, matahari terbit pukul 09.00 AM dan terbenam pada pukul 04.00/04.30 PM. Dengan demikian, masyarakat muslim hanya berpuasa sekitar 7-7,5 jam. Namun, ketika Ramadan jatuh pada musim panas—seperti pada tahun 2016, salat Subuh/Fajr dimulai pada pukul 02.10 AM dan salat Magrib sekitar pukul 10.00 PM. Lama puasanya menjadi sekitar 19-20 jam!
Sekarang, mari kita bahas tentang beratnya berpuasa di UK.
Bagi masyarakat awam, panas terik dan kemacetan merupakan penyebab utama beratnya berpuasa di sebuah kota. Sebagai contoh, berpuasa di Jakarta walaupun cuma 13 jam, tetapi pada siang hari terasa sangat berat bagi para pengguna jalan raya atau bagi orang-orang yang berada di luar ruangan. Nah, di UK (penulis membuat tulisan ini pada tanggal 19 Juni 2016), kota dengan temperatur paling tinggi adalah Hereford dengan suhu 20.3 derajat celcius (netweather.tv). Di Indonesia sepertinya 20 derajat celcius merupakan suhu terendah tempat-tempat sejuk seperti Lembang, Malang atau Kerinci. Bagaimana dengan macet? Setahu penulis, hanya London dan Manchester yang sangat padat dan ada kemacetan. Namun, mereka punya transportasi bebas kemacetan seperti MRT yang sangat handal.
Jadi sudah terjawab jelas kalau shaum di UK pada musim panas tidak terasa melelahkan dan tidak mengesalkan bagi masyarakatnya 🙂
Suasana Ramadan
Shaum di negara di mana Islam merupakan minoritas tadinya mengkhawatirkan penulis. Akan tetapi, setelah penulis menjalaninya, kekhawatiran tadi berubah menjadi keikhlasan menaklukkan tantangan. Apa saja sih tantangan beribadah di bulan Ramadan dan bagaimana suasananya?
Penulis akan jabarkan satu persatu.
Kalau di Indonesia, semua media menyambut Ramadan. Yang paling penulis ingat adalah iklan di media televisi berubah semua menjadi lebih ‘islami’ dan bertema Ramadan. Media online juga menyambut Ramadan dengan gembira. Terlebih gembira lagi pusat perbelanjaan 🙂 Mereka benar-benar mendapatkan manfaat dari bulan Ramadan.
Nah, di UK, tentu saja Ramadan bukan menjadi sebuah tema yang disambut oleh media massa, hanya masjid atau mushalla-lah yang menjadi tempat di mana semua kegembiraan berkumpul menyambut Ramadan. Jadi, kalau anda seorang muslim yang sedang di UK tetapi tidak pernah ke masjid/mushalla, maka kegembiraan menyambut Ramadan tidak akan pernah terasa.
Kemudian di UK tidak ditemui perbedaan dalam penetapan tanggal 1 Ramadan, Syawal atau bulan apapun. Semuanya patuh pada ketetapan dari MUI-nya UK.
Mengenai masjid, masjid di UK adalah melting pot. Tempat di mana kita bisa berkenalan dengan manusia dari berbagai negara. Dari pengalaman penulis, Pakistan, Libya dan Nigeria merupakan tiga negara penyumbang muslim yang cukup besar di beberapa kota yang penulis kunjungi. Kemudian juga ada muslim/ah dari Albania, Spanyol, Portugal, Kazakhstan, Turki, Ukraina, Armenia, Mesir, Iran, India, Bangladesh, Kanada, Australia, Kepulauan Fiji dan tentu saja Indonesia dan Malaysia. Semuanya berbeda mulai dari warna kulit, bentuk tubuh, cara berpakaian, cara berjalan, cara menggelengkan kepala; Yang sangat indah adalah ketika bertemu dan menyapa saudara sesama muslim, apalagi ketika salat dan mengaji, semuanya menggunakan bahasa Arab dan dengan cara seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.
Jangan membayangkan masjid di UK semegah dan sebanyak di Indonesia. Memang di kota besar seperti London, masjid ada di mana-mana. Namun, sebagai contoh, di Aberdeen tempat penulis belajar, Masjid hanya ada dua (sedang dibangun yang ketiga—telah selesai dibangun dan dipakai untuk salat Subuh pertama kali pada tanggal 3 Mei 2018—red.) dan hanya bisa dikenali dari papan namanya, karena dari luar berbentuk seperti rumah biasa. Ketika azan pun, suaranya hanya terdengar di dalam masjid. Akan tetapi, Subhanallah, salat Subuh berjamaah di masjid ini tidak pernah kurang dari 40 orang. Tingkat keramaian masjidnya sama dengan masjid di Indonesia. Padahal salat Subuh di sini jam 2 malam dan azan tidak terdengar di mana pun! Jarak masjid dari rumah pun jauh. Jadi, boleh dibilang penduduk muslim taat di UK memiliki kesadaran dan presisi yang tinggi tentang waktu salat berjamaah. Jangan tanya bagaimana dengan salat berjamaah yang lain karena Subuh saja sudah ramai.
Lalu, ketika puasa tiba, keramaian masjid di UK semakin menjadi-jadi. Pada saat berbuka, semua orang berlomba-lomba untuk memberikan makanan. Makanan default dari masjid untuk berbuka sebenarnya hanya kurma dan buah-buahan, tetapi MasyaAllah, ada saja brothers and sisters yang bawa susu manis, vegetable spring roll (bahasa Indonesia-nya: lumpia :p), bala-bala dan makanan lainnya. Lalu, setelah Magrib, semua jemaah diundang untuk makan besar—biasanya nasi kari ayam, nasi gaya Arab, roti naan Pakistan atau pizza halal. Kemauan masyarakat muslim di sini untuk donasi pun luar biasa. Jumlah makanan yang diberikan melimpah, sehingga para jemaah juga bisa membawa masing-masing 1 porsi makanan besar untuk sahur di rumah masing-masing 🙂
Setelah Magrib dan makan besar, jamaah biasanya tidak pulang karena jarak antara Magrib dan Isya di UK sangat pendek. Sehingga mereka mengaji sampai masuk Isya dan kemudian Tarawih.
Tarawih di sini dimulai jam 11.30-11.45 PM/menjelang tengah malam dan Subhanallah, saya melihat banyak juga orang tua yang mengajak anak-anaknya yang berumur 5-10 tahun untuk salat di masjid. Walaupun ketika sudah mulai tarawih, anak-anak banyak yang tertidur di karpet masjid 🙂 Namun, semangat mereka saya acungkan jempol, sampai tengah malam masih semangat beribadah.
Mengenai jumlah rakaat salat Tarawih, dari beberapa kota yang penulis kunjungi di UK, jumlah rakaat-nya semuanya 8 ditambah 3 rakaat Witir. Luar biasanya, ada beberapa masjid yang dalam setiap kali Tarawih menamatkan 1 juz Al-Quran, padahal malam di UK sangat pendek. Akibatnya, salat Tarawih baru selesai jam 1 malam, dan mereka hanya punya 1 jam untuk mempersiapkan sahur, makan sahur dan balik lagi ke masjid untuk salat Subuh! Meskipun demikian, kecepatan bacaan di setiap rakaat Tarawih, penulis perhatikan, mereka tidak terburu-buru—membacanya dengan tartil dan khusyu’.
Karena Islam merupakan minoritas di UK, maka tantangan berikutnya adalah pengelolaan masjid. Masjid di Aberdeen bertetanggaan langsung dengan warga lokal yang non-muslim. Dengan demikian, para pengurus DKM dan semua jamaah masjid sangat berhati-hati dan konsisten dalam menjaga kerapian dan kebersihan masjid. Tidak boleh ada sampah yang tercecer di halaman masjid. Sampahnya pun harus dipilah. Parkir mobil tidak boleh di sembarang tempat / di dekat masjid. Sandal dan sepatu serta jaket harus diletakkan di tempat yang sudah diberikan. Keluar masjid juga harus tertib, tidak boleh ribut. Hampir setiap hari pengurus DKM mengulang-ulang peringatan tentang pengelolaan masjid ini, karena kalau ada warga lokal yang terganggu dengan masjid lalu melaporkan ke dewan kota, izin masjidnya bisa dicabut.
Selain Tarawih, sama halnya dengan di tanah air, pengurus DKM juga menyelenggarakan kegiatan seperti hafiz cilik, penggalangan dana besar-besaran untuk masjid dan lain-lain.
Singkat kata, suasana Ramadan di UK sangat sederhana, tapi ikatan batin/semangat beribadah para Muslim/ah di masjid sangat luar biasa. Pola tidur selama Ramadan di musim panas juga harus berubah. Jangan sekali pun tidur habis Isya! Karena kemungkinan besar sahur dan Subuh lewat. Jadi, tidur dimulai pada pukul 3 AM sampai 9 AM, lalu kalau masih kurang bisa tidur 1 atau 2 jam sebelum berbuka puasa.
Plus minusnya shaum di UK
Kalau di Indonesia, semua orang ribut dengan boleh atau tidaknya rumah makan beroperasi di siang hari. Kalau di UK, kita sibuk menata hati, hehehehehe. Bagaimana tidak, aktivitas warga lokal dan masyarakat non-muslim tidak berubah sedikit pun ketika Ramadan datang. Makan, minum, pesta—itu hal yang biasa terjadi di depan mata. Jadi, di situ penulis merasa bersyukur 🙂 Karena Insha Allah di balik tantangan yang berat, ada hikmah dan berkah yang lebih besar.
Kemudian, di Indonesia penulis merasakan ketika Tarawih sering kantuk menyerang. Tetapi di UK, Alhamdulillah sampai hari ke-13 ini (saat tulisan ditulis—red.), penulis tidak merasa mengantuk. Sepertinya, karena jarak antara berbuka dengan Tarawih yang dekat, penulis hanya sempat makan kurma, semangka dan nasi; Perut tidak terlalu kenyang sehingga konsen Tarawih. Bandingkan dengan di Indonesia: berbuka dengan yang manis, lalu ada kolak, cendol, lotek, pempek, bala-bala, laba-laba baru makan nasi, wkwkwkwk… Jadi perutnya capek ketika Tarawih.
Satu lagi kelebihan shaum di UK ketika summer adalah I’tikaf yang sangat pendek waktunya 🙂 Karena tarawih baru selesai jam setengah 1 malam dan jam 2 sudah sahur, maka kita praktis I’tikafnya cuma tambah setengah jam. Singkat, tetapi berkualitas.
Sekian dulu liputan dan catatan penulis tentang shaum/ibadah di UK. Lain waktu, bisa penulis sambung lagi 🙂
Ditulis oleh Uda Kemas Rahmat, perantau di kota Aberdeen.