Musim Panas, Puasa 20 Jam di Skotlandia

‘Oh God, my stomach is crying,’ kata salah seorang mahasiswa muslim asal India yang duduk di samping saya sambil tersenyum agak malu-malu. Tidak lama setelahnya disusul oleh teman lainnya, lalu saya dengan bunyi perut yang tidak kalah nyaringnya. Kami pun serentak diam, saling menatap. Di lantai empat perpustakaan kampus, kami berusaha menahan tawa agak tidak mengganggu orang lain.

Perut bunyi mungkin sudah menjadi hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa internasional di kota kecil bagian timur laut Scotland, UK ini, apalagi di bulan Ramadan sekarang. Pertama karena cuaca yang tidak menentu dengan angin kencang yang sering membuat masuk angin dan kedua karena durasi puasa selama 20 jam bagi muslim.

Berbicara mengenai puasa, meski dengan rentang yang lumayan lama dibandingkan di Indonesia, namun hal tersebut memberikan tantangan dan kebahagiaan tersendiri bagi kami: menahan lapar dari jam 02.08 subuh hingga 10.10 malam, harus pandai mengatur waktu tidur yang berubah-ubah, dan tetap berjuang melanjutkan pengerjaan tesis yang kali ini bertepatan dengan bulan puasa.

Tantangan terberat pada awal Ramadan adalah mengatur waktu tidur karena jika ketiduran setelah Tarawih (lewat jam 12), bisa-bisa tidak sempat sahur bahkan bisa telat salat Subuh karena waktu malam yang sangat mepet. Tidur setelah Subuh adalah cara terbaik, saya sendiri biasanya tidur setelah salat Subuh—jam tiga,  lalu bergegas ke kampus menjelang Zuhur. Meski tidak ada perkuliahan, tetapi mahasiswa program master dituntut untuk segera menyelesaikan proyek tugas akhir.

Allah memang Maha Adil. Walaupun harus menahan dahaga selama dua puluh jam, suhu di Aberdeen tidaklah panas, sekarang ini hanya berkisar 10-20 derajat celcius, bahkan kadang di bawah 10 derajat. Orang-orang barat menyebutnya sebagai musim panas karena di mata mereka itu termasuk kategori panas dan karena waktu siang lebih lama daripada malam. Padahal, menurut kami yang terbiasa di daerah tropis, itu masih dingin. Cuaca seperti ini pun memudahkan kami dalam menjalankan puasa, ditambah dengan kesibukan lain sehingga waktu terasa begitu cepat berlalu.

Sepulang dari perpustakaan kampus, biasanya saya dan mahasiswa muslim lainnya tidak langsung menuju ke flat—pulang ke flat rasanya membuat malas karena jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki—dan memilih singgah di masjid. Syukurnya, posisi masjid sangat strategis, di antara kampus dan tempat tinggal sehingga kami lebih senang menghabiskan waktu yang masih cukup lama menuju buka puasa di Masjid Aberdeen sekaligus Islamic Centre (AMIC) tersebut, sambil membantu mempersiapkan takjil bersama volunteer lainnya.

Suatu hal yang saya pelajari selama menjalankan puasa di kota tua Aberdeen dengan bangunan berarsitektur granite ini: ternyata hidup itu memang simpel, kadang kita yang membuatnya menjadi rumit, seperti halnya ketika memilih-milih makanan untuk buka puasa. Kita tidak perlu terlalu pusing dengan buka puasa karena Alhamdulillah masjid di Aberdeen selalu menyediakan fasilitas untuk ratusan jamaahnya. Pengurus masjid sangat paham bahwa Aberdeen didatangi oleh banyak pelajar muslim internasional yang membutuhkan wadah. Bahkan sebelum Ramadan, Imam masjid selalu menyarankan agar mahasiswa memanfaatkan AMIC dengan sabaik-baiknya selama Ramadan. Meski menunya selalu berulang tetapi semuanya terasa lezat saat disantap bersama-sama dalam lingkaran jamaah. Selain itu, meski dengan minoritas muslim, persaudaraan sesama muslim dari berbagai kewarganegaraan terasa begitu kental. Betapa besar bentuk kepedulian satu sama lain tanpa mempedulikan ego masing-masing.

Memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, masjid menyediakan layanan tambahan berupa menu sahur demi memudahkan jamaah dalam pelaksanaan ibadah termasuk I’tikaf dan Qiyamul Layl. Orang-orang pun lebih memilih menghabiskan malam hingga fajar di masjid tanpa perlu kembali ke rumah. Selain disediakan oleh masjid, beberapa jamaah juga membawa makanan sendiri, tentu tidak dengan porsi satu orang saja, tapi dibagikan ke jamaah lain.

Ramadan di negara mayoritas non-muslim tentu ada baik buruknya. Setelah Tarawih malam pertama, pihak masjid mendapat komplain dari tetangga karena seorang anak kecil meninggalkan botol bekas di halaman rumahnya. Imam masjid pun langsung menyampaikan permintaan maaf dan menghimbau para jamaah untuk memperhatikan dan menasihati anak kecil. Bahkan masjid pernah didatangi polisi setelah komplain dari tetangga, entah orang yang sama atau berbeda, karena speaker masjid kedengaran hingga ke rumah mereka dan menganggu tidur. Hal yang sangat wajar karena Tarawih dilaksanakan sekitar jam 12 malam dan posisi masjid memang di tengah-tengah perumahan. Semua jendela masjid pun ditutup saat salat, juga satu speaker dimatikan untuk menghargai tetangga.

Di hari lain ketika berjalan menuju masjid—di antara kami seorang perempuan berjalan dengan memakai kerudung, kami berpapasan dengan seorang ibu-ibu dengan rambut merah sepanjang bahu berjalan dengan kedua anjingnya. Ia tersenyum pada kami lalu berkata, “Ramadan Mubarak!”

Ditulis oleh Ahmad, MLitt English Literary Studies, alumnus University of Aberdeen, Scotland, UK

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Amanah Makassar, edisi 19 dan 20 Juni 2017.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s