Berkali-kali saya harus mengerutkan kening, menyipitkan kedua kelopak mata, dan memperbaiki posisi topi demi mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke mata. Kami mempercepat gerak kaki, berlomba dengan matahari yang bergerak menenggelamkan diri di ufuk barat. Melangkah menuju menuju halte dengan sangat terburu-buru hingga dua orang di antara kami tertinggal jauh di belakang. Jika telat, harus menunggu bus selanjutnya yang akan tiba 10 menit lagi sementara waktu semakin tipis. Beruntung kami menemui halte tepat waktu. Bergegas naik dan memilih tempat terdekat dengan pintu. Sebelum bus mencapai tempat perhentian dan membuka pintunya, kami telah bersiap melangkah turun, berjejer di depan pintu.
Sam berjalan paling depan, sesekali melirik layar hp demi mengarahkan kami ke ‘jalan yang benar’ menurut keyakinan mbah Google Map.
“Kalau dari instruksinya lewat jalan ini.”
“Ya sudah jalan terus saja.”
“Masih jauh tidak?”
“Tidak kok, tinggal belok kanan di ujung jalan.”
Melewati jalan setapak perumahan yang dihiasi dengan pohon-pohon dengan batang dan ranting besar tanpa daun, pemandangan winter yang selalu menarik perhatian. Masih saja ada yang berhenti, menjepret sana-sini meski kita tengah memburu mungkin juga diburu waktu.
“Ya, ini nih masjidnya,” sambil menunjuk bangunan yang sekilas tak ada bedanya dengan gedung-gedung di kota London pada umumnya: red brick tersusun rapi. Tulisan kecil berbahasa Arab di atas pintu adalah satu-satunya tanda bahwa ini memang masjid, tak ada kubah apalagi menara seperti yang kami biasa lihat di Indonesia.
“Pintu masuknya ini atau bukan?”
“Kayaknya terkunci.”
“Eh, ini ada bell,” kata Sam sembari menekan tombol bulat tersebut. Bell diangkat oleh seorang laki-laki yang mungkin sudah baya. Saya hanya menebak dari getar suaranya.
Ketika Sam menyampaikan maksud kedatangan kami untuk shalat Ashar, si bapak malah menjelaskan waktu shalat jumat yang dilaksanakan besok jam sekian dan mengatakan bahwa sekarang masjid tidak buka. Telpon pun ditutup. Kami menduga si bapak tidak menangkap maksud percakapan kami.
Setelah mengecek kembali di Google Map, kami dapati salah satu reviewer yang menulis bahwa masjid ini adalah milik Syiah. Rating-nya pada google memang tidak bagus. Kami sempat diskusi beberapa saat. Kala itu saya yang paling ngebet segera pindah dari depan masjid dan menemukan tempat lain karena merasa tidak tenang mendengar kata ‘Syiah’. Namun karena matahari sebentar lagi hilang, dan sepertinya tidak memungkinkan untuk mencari masjid atau tempat lain di tengah kota dengan minoritas muslim seperti ini, kami kembali mencoba memencet buzzer. Kali ini Mbak Dani yang mencoba berbicara dengan si bapak. Tapi sama saja, yang kami tangkap dari ucapannya, “masjid tidak buka sekarang, silahkan datang lagi besok”. Kami mengira ini karena language barrier, ia tidak begitu memahami ucapan kami, juga sebaliknya.
Kami sudah memutuskan untuk pergi saja, saya paling cepat membalik badan. Tiba-tiba seseorang laki-laki membuka pintu, menyuruh kami masuk lewat pintu samping. Setidaknya kami merasa lega bisa masuk, meski saya pribadi merasa ragu-ragu dan sedikit tidak tenang karena untuk pertama kalinya memasuki masjid Syiah.
Beliau menunjukkan tempat shalat laki-laki dan perempuan, tempat menaruh sepatu serta tempat wudhu. “Sepertinya bapak ini bukan orang yang mengangkat bell tadi,” pikirku. Setelah melepas sepatu, kami membawa tas masuk ke ruang shalat, dan exactly ini memang masjid Syiah, tumpukan batu karbala dan tasbih yang sering mereka gunakan untuk shalat berada tepat di samping pintu masuk masjid. Sempat terpikirkan untuk mengambil gambar, tapi saya urungkan niat karena merasa ‘kita harus respect ketika bertamu’, dan alasan utama karena mendapati cctv di beberapa sudut masjid. 😀
Di tempat wudhu, kami mendapati model tempat wudhu yang berbeda dari umumnya. Mirip wastafel, sehingga harus mengangkat kaki tinggi-tinggi untuk membasuhnya.
“Mereka memang tidak membasuh kaki ketika wudhu,” kata salah seorang teman.
Ketika kembali ke ruang shalat, si bapak tadi ternyata telah menunggu. Ia bermaksud shalat berjamaah dengan kami. Saya sedikit cemas, jangan-jangan si bapak mau memimpin shalat kami. “Bagaimana kalau ia ngotot jadi imam, padahal yang saya ketahui kita tidak boleh menjadi makmum dari seorang Syiah.”
Bahasa Inggris beliau tidak begitu fasih. Untungnya di antara kami ada yang bisa bahasa Arab, Muazu dari Nigeria. Bahasa Arab (selain Bahasa Inggris) sudah seperti bahasa kedua bagi masyarakat muslim di negaranya, jadi wajar saja ia bisa bercakap dengan lancar. Muazu menjelaskan kepada beliau bahwa kami adalah musafir, dan kami ingin menjamak qasar Duhur dan Ashar. Beliau pun melangkah mundur, menunggu, lalu mempersilahkan kami untuk mengambil duhur terlebih dahulu. Ok, kali ini aman. Shalat dipimpin oleh Muazu, namun saya masih menyimpan curiga, “bagaimana jika pas Ashar nanti bapak tadi kembali meminta jadi imam!”
Setelah Duhur, si bapak kembali bergabung dengan barisan jamaah. Saya sempat kaget ketika ia tiba-tiba melantunkan ikamah. Kawatir, bagaimana jika ia melafaskan sesuatu yang berbeda, seperti kata orang bahwa biasanya mereka akan mengganti atau memutar-mutar bacaan adzan. Misalnya nama Rasulullah Muhammad saw diganti menjadi nama Ali. Saya mencermati. Lagi-lagi saya salah, ternyata sama saja dengan yang sering saya dengar selama ini. Kekeliruan kedua adalah ternyata sama sekali saya tidak melihat ada batu di tempat sujud beliau seperti yang saya pikirkan sebelumnya.
Shalat selesai. Kami bergegas mengambil tas yang tadi diletakkan di sudut ruangan, namun mata saya terus mengamati desain dan seisi masjid. Tidak ada yang begitu aneh, hanya hiasan bunga-bunga yang banyak menempel di tiang dan plafon masjid yang saya kurang paham melambangkan apa.
Si bapak tadi juga keluar bersama kami. We thank him so much, after thank to Him. “And sorry…”, dalam hati saya juga mengucap maaf karena merasa bersalah telah menaruh menaruh curiga yang bukan-bukan.
Kami bersiap melangkah keluar setelah memakai kaos kaki dan sepatu, perempuan yang membersama kami juga telah berada di pintu ruang muslimah. Si bapak tiba-tiba berlari masuk ke sebuah ruangan, dan meminta kami menunggu sejenak. Ia keluar membawa berisisir-sisir pisang yang diletakkan di atas baki besar. Menawarkannya kepada kami. Ia mungkin membaca ekspresi malu-malu kami, sehingga tak tanggung-tanggung ia langsung membagikan buah tersebut. Memindahkan ke tangan kami, satu, dua, bahkan tiga buah sekaligus hingga hingga baki itu kosong lalu ia kembali mengisinya dengan pisang yang lain.
“Just make doa for me,” katanya sambil tersenyum. Kerutan tampak di ujung kedua matanya yang teduh.
Mendapati orang dengan kebaikan seperti ini, siapa yang tak ingin memberikan hadiah berupa doa. Doa memang hadiah paling instant, mudah dan mungkin terkesan murah(an), namun juga bisa mengubah hidup seseorang, hidup kita, jika diminta dengan kesungguhan. Jika kita ingat kisah seorang ibu yang berulangkali datang kepada nabi Musa meminta didoakan dan mengaduhkan nasibnya yang tidak punya anak. Tapi karena ia yakin, selalu husnuzan, ia pun akhirnya dikaruniai anak.
Memberikan doa kepada bapak tadi tanpa melihat apa identitasnya: siapa dan dari mana dia, tapi karena kebaikannya. “It’s not who you are underneath but what you do that defines you,” sekilas saya teringat tagline angkatan jurusan kuliah dulu, Caterpillar.
Tidak cukup sampai memberi buah, sebelum kami meninggalkan masjid, ia memberikan buku padoman haji atau umroh kepada Moazu dan sebuah Alquran kepada mbak Dani.
“Wah, aku terharu banget, aku emang nyari versi Usmani,” kata mbak Dani mengepresikan kebahagiaannya.
Kami pamit, dan menyampaikan banyak terima kasih kepada si bapak. Karena tak bisa menghabiskan buah tadi, dan tak mau mengunyah pisang sambil jalan, sementara kita tidak diperkenankan menyisahkan satu pun, satu persatu dimasukkan ke dalam tas saya karena saya membawa tas paling besar, beberapa bahkan tidak membawa tas. Dan siapa sangka buah tersebut sangat berkah dan helpful saat kami kelelahan dan kelaparan. Juga, untuk Muazu dan temannya yang ternyata sedang puasa sementara kami masih asyik mengitari keramain London.
Ada yang bilang, biasanya setelah orang lain yang bukan dari kalangan mereka (read:Syiah) melaksanakan shalat di masjid mereka, mereka akan menghapus bekas-bekas sujud setelah orang tersebut pergi. Bisa saja mereka melakukan hal yang sama setelah kami pergi. Tapi saya tidak sepenuhnya percaya, setelah mendapati kebaikan si bapak memberikan kami ruang untuk shalat, dan dengan hospitality yang baik. Entah apa yang terjadi setelah kami meninggalkan masjid, Wallahualam.
Ketika ingin menulis pengalaman ini, saya kembali diliputi rasa curiga mengenai Alquran yang diterima mbak Dani, padahal sudah dua bulan lebih berlalu sejak berkunjung ke London. Saya menghubunginya, menanyakan mengenai isi Alquran tersebut apakah ada keanehan atau tidak. Meski merasa biasa saja, Ia pun tetap menanyakan ke salah seorang teman yang merupakan alumni Al-Azhar Mesir, bahkan memberikan Alquran itu untuk dipastikan isinya. Di sisi lain saya juga menguhubungi teman kuliah dulu yang adalah alumni Gontor. Hingga didapati bahwa Alquran itu sama saja pada alquran umumnya, adapun yang sedikit mengganjal pada tulisan halaman kedua, ternyata hanya sebuah permintaan doa dari seseorang yang telah mewakafkan Alquran.
I realise, saya seharusnya tidak terlalu banyak curiga, tidak terlalu kawatir. Tapi saya bersyukur dari proses ini saya juga menyadari bahwa kecurigaan atau kekawatiran ternyata meng-encourage saya untuk mencari tahu lebih detail, memastikan kecurigaan saya benar atau tidak. Layaknya dalam kehidupan akademik, diperlukan penelitian untuk membuktikan sebuah hipotesis benar atau tidak. Merasa ada keganjilan, melihat ada keanehan, jangan langsung men-judge ini itu dengan kata-kata jika pengetahuan masih minim. Cukup simpan dalam “tabung kecurigaan”, then find the answer later. Saya juga perlu mencurigai diri sendiri, karena sifat sering curiga meski berpeluang untuk meng-encourage pribadi seseorang adalah pertanda masih kurangnya pengetahuan.
***
Mengenai masjid tadi, maaf saya harus menyebutkan namanya, Islamic Universal Association yang berlokasi tak jauh dari Holland Park, London. Karena merasa review di Google Map sangat berguna, saya pun merasa perlu untuk menceritakan pengalaman di sana sehingga orang yang membacanya bisa menimbang-nimbang dulu sebelum memutuskan ke sana. Bukannya melarang, tapi selama masih ada masjid umum yang memungkinkan untuk didatangi, mengapa tidak.
Aberdeen, May 2017
Ditulis oleh Ahmad, mahasiswa pascasarjana MLitt English Literary Studies di University of Aberdeen, Skotlandia. Selain suka menulis, Ahmad juga sangat suka travelling. Jika anda tertarik dengan tulisannya, pertanyaan mengenai English Literature, ataupun dunia jurnalistik, jangan ragu untuk mendatangi Kabar Cemas dan kalau tertarik dengan kegiatannya bisa follow Instagram-nya : @ahmadmdi .
Hahahaahha saya sangat akrab dengan ‘kecemasan’ itu… Nice story ahmad broo… Keren keren keren
LikeLiked by 1 person
hahaha… ‘kecemasan’ sekarang tidak seperti dulu lagi broh, sepertinya.
LikeLike